Alhamdulillah, dalam tahun ini sahaja beberapa orang sahabat dan kakak2 dan abang2 saya telah mendirikan rumahtangga. Saya tertarik untuk berkongsi artikel ini yang ambil dari http://matapensel.wordpress.com. Moga bermanfaat dan terbinalah usrah sakinah mawaddah wa rahmah!
Isteri Seorang Da'ie
Dalam satu acara bersama Faudhil Adzim, penulis buku popular Kupinang Engkau Dengan Hamdalah beberapa ketika dahulu, beliau berpesan kepada kami khususnya para akhwat,,,
“Janganlah kamu tahan suamimu dirumah, kerana nanti pastinya dia akan meronta-ronta ingin keluar. Tapi sebaliknya relakan sahaja suamimu keluar, kerana pasti dia akan meronta-ronta ingin pulang ke pangkuanmu”
Buat isteri para daie yang saban hari menanti kepulangan suaminya di rumah dengan sabar, kutujukan kisah Lathifah As Suri untuk kamu semua.
Adalah Lathifah As Suri perempuan itu. Ia berdiri disamping Imam Syahid Al Banna. Sejak awal Imam Syahid telah menegaskan bahwa ia perlukan seorang muslimah yang kuat, yang tidak akan gentar dengan banyaknya halangan dan rintangan dalam berdakwah. Perjuangan Imam Syahid bukanlah suatu hal yang main-main, bukan hanya sekedar dakwah seperti ramai orang pada waktu itu. Bukan hanya sekedar membangun masjid atau surau. Imam syahid tengah dan hendak membangun sebuah peradaban. Dan ia percaya, peradaban tak akan pernah terwujud, tanpa seseorang yang ia yakini kesejatiannya.
Maka siapapun itu-pendampingnya-harus menyadari bahwa dipundaknya ada amanah yang sama besarnya dengan yang dipikul oleh Imam Syahid. Ada dimensi waktu dan kuasa modal disitu. Maka pertemuan diyakini menjadi suatu hal yang mahal bagi Imam Syahid dan istrinya.
Maka bagi Lathifah As Suri menjadi istri Hasan Al Banna memerlukan persiapan yang bukan main-main. Sejak awal pernikahan, Lathifah sudah menyadari bahwa ia harus siap jika ada waktu dia harus menjalani hidup sendiri tanpa seseorang, tempat berlabuh hidup dan cintanya.
Dakwah Ikhwah yang dipimpin oleh suaminya banyak meminta risiko yang bukan main-main. Penjara bahkan nyawa akan menjadi akibatnya, dan akan tiba menyapa pada bila-bila masa.
Tanpa diminta, Lathifah sudah tahu dan mengerti bagaimana ia harus menempatkan dirinya. Ia memutuskan menutup seluruh aktivitas luarnya. Hanya satu yang ia curahkan, jihad utamanya adalah dilingkup rumahnya sendiri. Mengurus rumah tangga dan membesarkan anak-anak mereka berdua adalah dua hal yang tidak kalah pentingnya dengan yang dilakukan oleh Hasan Al Banna.
Sebelum menikah dengan Hasan Al Banna, Lathifah berasal dari keluarga yang taat beragama. Hingga tak heran jika ia menyadari betul tuntutan hidup menjadi istri seorang daie.Malam, ia harus rela untuk terbangun menyambut kepulangan suaminya. Walau tak jarang Imam Syahid berlaku sangat hati-hati, bahkan hanya untuk membuka pintu rumahnya sekalipun. Jauh dilubuk hatinya, Imam Syahid tidak ingin mengganggu tidur bidadari kekasihnya yang telah seharian mengurus rumah dan anak-anak mereka berdua. Imam Syahid bahkan tak segan untuk menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri.
Lathifah tidak pernah mengeluh, walau sehari-harinya hanya ia habiskan seputar rumah dan rumah saja. Ia tidak pernah menuntut lebih kepada Imam Syahid. Padahal, Lathifah pun -berlepas diri dari ia seorang istri Imam Syahid- menyimpan banyak potensi. Anak-anak mereka yang berjumlah enam orang sesungguhnya adalah pencurahan konsentrasinya menjalani hidup. Satu-satunya yang pernah membuat dirinya tergugah adalah, ketika salah satu anak mereka sakit keras dan Imam Syahid harus tetap menjalankan jihadnya. Ia bertanya kepada suaminya,”Bagaimana jika ia meninggal?”. Imam Syahid hanya menarik napas panjang, ia kemudian berujar “Kakeknya lebih tau bagaimana mengurusnya.”
Sejak kecil, Lathifah menanamkan wawasan keislaman kepada anak-anaknya. Mendorong mereka untuk membaca, sehingga dalam hidupnya mereka tidak terpengaruh dengan seruan-seruan jahiliyyah yang merosakkan. Ketika Imam Syahid bolak-balik keluar penjara, Lathifah berusaha bersabar dan komitmen. Lathifah sangat menyadari peranan dan kewajiban asasi seorang wanita sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Ia kosongkan waktunya untuk mendidik anak2nya. Ia bahagia melihat anak-anaknya sukses dalam hal akhlak dan amal. Ini tak mungkin terjadi jika seorang ibu sibuk di luar rumah. Seorang anak tidak mungkin belajar tentang akhlak dan amal dari orang selain ibunya.
Ketika Hasan Al-Banna syahid, anak-anaknya belumlah dewasa. Lathifah tidak lantas menyerah. Tidak ada gelisah, kesah ataupun ketakutan dalam hatinya. Ia sangat memelihara apa yang dikehendaki oleh arwah suaminya. Ia tetap tinggal didalam rumah. Lathifah tidak meremehkan hudud (batasan) yang Allah tentukan.
Karenanya, tak heran diantara anak-anaknya tidak ada ikhtilat (percampuran) antara anak-anaknya dan sepupunya yang berlainan jenis. Tidak ada yang berubah dirumah itu, apa yang Imam Syahid inginkan berlaku dikeluarganya masih tetap di pegang teguh oleh Lathifah. Sendirian, ia besarkan keenam anaknya. Dirumahnya kini ia mempunyai tugas tambahan, yaitu memperdalam wawasan keislamannya. Yang dimaksud dengan wawasan keislamannya adalah membaca Al-Quran dengan tafsirnya, mempelajari Sunnah Rasulullah SAW, haditsnya dilanjutkan dengan usaha kuat untuk menerapkannya. Lathifah juga masih menyempatkan diri mempelajari sejarah para salafussalih dan berita seputar dunia Islam. Lathifah menyadari memandang kecil masalah ini akan memunculkan persoalan serius. Seorang yang tidak menambah pengetahuan keislamannya, akan merasa sulit untuk bangga dengan keagungan dan kebesaran Islam. Dengan melalui pemahaman keislaman yang baik, seorang wanita akan menyadari betapa penting perannanya terhadap keluarga dan masyarakat.
Perjuangan Lathifah membuahkan hasil yang gemilang. Semua anaknya sukses meraih ijazah dalam pendidikan formal. Yang sulung, bernama Wafa-menjadi istri Dr.Said Ramadhan. Kedua Ahmad Saiful Islam, kini sebagai peguam di Mesir. Ia juga pernah duduk di parlemen. Ketiga bernama Tsana, kini sebagai pensyarah di Universitas Kairo. Kelima Roja, kini menjadi doktor. Dan Halah sebagai pensyarah perubatan kanak-kanak di Universitas Azhar. Dan terakhir, Istisyhad sebagai PhD dalam ekonomi Islam. Semuanya itu sebagai bukti, betapa berartinya sosok Ibu bagi keberhasilan dakwah sang suami. Selain juga untuk anak-anaknya
Moga Allah memberikan kekuatan kepada semua isteri para duat yang tidak pernah bosan membantu di balik tabir. Moga Allah membalas masa-masa kita yang hilang dengan ganjaran yang lebih baik di syurga…
1 comment:
Setelah gelas yang berisikan arak bermutu rendah itu tereguk habis, lelaki itu menangis. Dia terisak menyesali perbuatannya. Bibirnya bergetar memohon ampunan Tuhan. "Aku bertobat, ya Tuhanku. Aku berjanji takkan mengulanginya. Aku mohon ampunan-Mu."
Namun, baru saja ia mengakhiri pintanya, tanpa sadar tangannya telah menuang segelas lagi. Tenggorokannya kembali basah oleh arak. Setelah itu ia terisak kembali, memohon ampunan-Nya.
"Ini yang terakhir, ya Tuhanku. Ampunilah...Aku bertobat. Aku akan berjalan pada ajaran agama-Mu."
Kelemahannya demikian kuat menguasai dirinya. Setiap kali ia menyadari kekeliruan perbuatannya, maka kelemahannya demikian kuat membentenginya. Itulah yang terjadi pada diri Syekh Mabruk yang tak pernah berhenti ingin bertobat, namun selalu terkalahkan oleh hawa nafsunya.
"Syekh", demikianlah orang-orang menjulukinya sebagai ejekan atas perbuatannya. Usianya 60 tahun, namun kondisi fisik-nya memberi kesan seakan usianya telah seratus tahun lebih. Tua, dan tampak rapuh.
Ia ditemukan sewaktu bayi di pinggiran kaki lima dengan hanya terbungkus sepotong kain. Kemudian rumah yatim piatu adalah tempat ia dibesarkan. Setelah itu ia ditampung di tempat anak-anak nakal.
Hampir semua kejahatan pernah ia lakukan. Ia seakan berenang di dalamnya. Hingga tak heran jika hidupnya diwarnai dengan keluar masuk penjara.
Itulah hari-hari Syekh Mabruk, hingga berakhir dengan penjaga kubur. Demikian akrab ia dengan dunia barunya. Ia makan, minum dan tidur bersama mayat-mayat. Pada pagi hari ia merupakan seorang penjaga kubur yang baik. Namun begitu malam tiba, ia berbalik menjadi penjual mayat segar kepada para mahasiswa kedokteran dengan imbalan yang hanya bisa dipakai sebagai pembeli arak bermutu rendah, agar bisa mabuk demi menghilangkan impian buruknya.
Meskipun demikian, Mabruk termasuk penjahat yang memiliki kekhususan tersendiri. Ia seorang penjahat yang layak untuk dikasihani. Ia selalu menangisi perbuatannya yang tak pernah bisa ia tinggalkan. Ia merasa malu pada Tuhannya. Hal itu dikesankan pada wajahnya yang senantiasa tertunduk. Batinnya seakan berkata bahwa tidak berhak orang sepertinya menerima kehangatan mentari, begitu juga menghirup udara bersih dan memasukkan makanan yang baik ke perutnya.
Sebenarnya ia tak pernah bergairah untuk berbuat dosa, jika bukan karena desakan memaksa. Setiap saat ia berupaya untuk menghindar dari segala macam kejahatan. Ia telah mencoba beristiqomah.
Mabruk berusaha sebatas kemampuannya untuk mengalahkan wataknya, namun wataknya dengan kuat berhasil menguasainya kembali. Telah dicoba untuk menekan kelemahannya, namun kelemahannya kembali menekan dirinya.
Akhirnya...Mabruk terisak-isak, merasa sebagai kumpulan yang terbuang. Kemudian ia berusaha melupakan semua yang dialaminya dengan tetes demi tetes, gelas demi gelas minuman arak. Kian banyak ia minum, kian terkapar ia di lembah kehinaan.
Mabruk merasa, Tuhan selalu mengincarnya. Entahlah dari mana muncul perasaan itu. Yang jelas, ia senantiasa menggeliat resah di antara incaran mata Tuhan yang senantiasa terjaga. Ia merasa jijik terhadap dirinya sendiri. Perasaannya itu demikian melekat pada dirinya bagaikan jalannya pernafasan yang tak pernah bisa dilepaskan dari dirinya. Tak beda dengan seekor kecoa yang jatuh di cairan perekat, di mana setiap ia bergerak untuk meloloskan diri, semakin tenggelam ia ke dalamnya.
Keputusasaan bukan penyelamat dari bahaya maut, bukan pula jalan keluar dari sebuah persoalan. Itulah sebabnya Mabruk yakin, bahwa betapapun besar dosa yang ada pada dirinya, pasti ampunan Tuhan akan lebih besar lagi. Sesungguhnya Allah tidak merasa beruntung akan ketaatan kita, dan tidak pula merasa rugi atas perbuatan dosa kita. Tuhan Maha Kaya terhadap diri-Nya di alam semesta ini. Tuhan Maha Kuasa Rahmat dan Pengetahuan-Nya. Yang Maha Pemberi tanpa pernah memerlukan bantuan dari siapapun. Semuanya membutuhkan-Nya. Semuanya miskin di hadapan-Nya.
Keyakinan itu membuat Mabruk tidak pernah berhenti menangis. Tidak pernah absen menanti terbukanya pintu rahmat, walau ia tahu kedua tangannya berlumurkan dosa. Semua orang mengetahui sejarah hidupnya. Di antara mereka ada yang mengejek, namun lebih banyak yang merasa prihatin akan nasib Mabruk yang memang kurang beruntung.
Ada beberapa orang yang datang dengan memohon pada Syekh Mabruk agar mendoakannya. Lalu ia menjawab permohonan mereka dengan cucuran air mata, "Syekh Mabruk mendoakan kalian?! Ah... Apakah kalian belum tahu? Aku ini bukan Syekh, bukan pula Mabruk yang artinya diberkati." Setelah itu ia menangis terisak-isak. Dengan gemetar tangannya merogoh saku baju gamisnya untuk mengeluarkan botol arak dari dalamnya. Air matanya mengalir deras di pipinya tereguk bersama-sama arak, kemudian ia berlari menuju ke lorong makam yang gelap, memohon ampunan dan maghfirah dari Tuhannya.
*****
Suatu hari, pagi-pagi sekali, Haji Ibrahim datang menemui Syekh Mabruk dan memberinya tugas untuk membuka pintu makam keluarga. Ini untuk putranya untuk kelima kalinya. Setiap tahun, kesedihan Haji Ibrahim selalu terulang. Karena setiap kali ia dikaruniai seorang putra, maka tidak begitu lama permata hatinya itu hidup.
Syekh Mabruk merasa terharu. Ia seakan dalam menyelami betapa hancurnya hati ayah yang berulang kali mendapat musibah itu. Ia seakan ikut larut dalam kesedihan ayah yang malang itu.
"Ini putraku yang kelima. Sementara putriku yang masih hidup menderita lumpuh sejak beberapa bulan yang lalu. Hanya dengan bantuan kursi roda ia bisa sedikit bergerak. Dokter yang menanganinya telah berkata padaku, bahwa tak ada harapan hidup lebih lama lagi bagi putri satu-satunya. Tak ada obat yang dapat menyembuhkan penyakitnya. Kami hanya bisa menunggu waktu. Sebentar lagi kau akan menggali sebuah liang kubur lagi untuknya, putriku satu-satunya. Ya Tuhan, sebentar lagi akan menyusul lagi ke haribaan-Mu. Ya Rabbi, rahmat-Mu yang kunanti..."
Ayah yang malang itu kemudian merebahkan kepalanya ke dada Syekh Mabruk. Ia menangis seperti seorang anak yang kehilangan kedua orang tuanya dalam waktu yang bersamaan. Hati Syekh Mabruk koyak. Sedih. Dengan air mata yang mengalir deras, Haji Ibrahim berkata:
"Aku mohon, doakanlah putriku agar ia pulih kembali, wahai Syekh Mabruk. Semoga karena bantuan doamu, Tuhan lalu menyembuhkannya."
Syekh Mabruk menanggapi permohonan Haji Ibrahim, dengan agak sinis: "Sesungguhnya engkaulah yang pantas mendoakannya daripada aku. Kau sudah haji. Sudah berkunjung ke makam Nabi. Sedang aku?! Aku hanya berkunjung dari penjara ke penjara dan rumah pemeliharaan anak-anak nakal. Ketaqwaan pada Tuhan telah kau saksikan. Bagaimana aku bisa mengangkat wajah memohon doa untuk orang lain kepada Tuhanku?"
Namun Haji Ibrahim mengulang kembali permintaannya dengan menangis. "Sampai parau suaraku memohon doa. Telah kulakukan shalat dan puasa, namun langit belum menyambut doaku. Aku mohon engkau dengan sangat, doakanlah putriku satu-satunya, wahai Syekh Mabruk. Allah lebih mengetahui isi hati manusia. Demi Allah, doakanlah putriku. Jangan engkau tolak permohonan ayah yang malang ini..." Haji Ibrahim kembali terisak. Betapa hancur hati Mabruk melihatnya.
Tiba-tiba...Syekh Mabruk menadahkan kedua tangannya tinggi-tinggi dengan penuh kesungguhan, walaupun wajahnya lebih berkesan seperti orang yang menahan malu menatap ke hadapan Tuhannya. Dengan segala kerendahan hati dan di antara derai air matanya, ia memanjatkan doa kepada Tuhannya.
"Ya Rabbi, sembuhkanlah ia, karena tiada yang dapat menyembuhkan kecuali Engkau. Ya Tuhan, berilah ia kesehatan, karena tiada yang bisa memberi kesehatan kecuali Engkau, ya Tuhan..."
Setelah Mabruk menyelesaikan doanya, tanpa terasa kedua orang itu bertangisan. Suatu peristiwa yang belum pernah mereka alami sejak kelahirannya. Tak lama kemudian mereka berpisah.
*****
Keesokan harinya, Haji Ibrahim datang ke perkuburan mencari Syekh Mabruk. Ia mencari ke segenap penjuru, namun Syekh Mabruk masih belum juga ia temukan. Haji Ibrahim mencoba bertanya pada orang-orang yang berpapasan dengannya, "Di mana Syekh Mabruk? Tunjukkan padaku di mana ia berada! Putriku telah sembuh dari lumpuhnya. Ia bisa berdiri dari kedua kursi rodanya dan telah bisa berjalan sendiri. Dokter mengatakan peristiwa itu sebagai suatu mu'jizat. Kini aku mencari Syekh Mabruk, di mana aku bisa menemuinya?! Katakan, dimana?!"
Namun, sesungguhnya Haji Ibrahim tidak mengetahui. Fajar tadi, Syekh Mabruk telah berpulang ke rahmatullah. Ia meninggal setelah selesai mengucap permohonan ampunannya, sebagaimana yang biasa ia lakukan sesaat sebelum tidur. Mabruk senantiasa memohon kepada Tuhannya:
"Tuhanku, ampunilah aku. Tiada yang bisa mengampuni segala dosaku, kecuali Engkau. Tuhanku, betapapun banyak dosaku, semuanya takkan membawa kerugian bagi-Mu. Dan be tapapun banyak ketaatanku, takkan membawa manfaat sedikitpun bagi-Mu, ya Tuhan. Engkau Maha Kaya berkuasa di alam semesta ini.
Tuhanku, betapapun besar dosaku, ampunan-Mu lebih agung dari semua itu. Betapapun besar kejahatanku, ihsan-Mu lebih besar dari semua yang ada.
Maha Suci Engkau ya Tuhan, begitu luas rahmat dan pengetahuan-Mu. Kasihanilah ya Tuhan karena kelemahanku dan ketidakmampuanku ini. Engkau telah berfirman bahwa manusia diciptakan dengan sifat lemah.
Ya Tuhan, terimalah dan tempatkanlah aku bersama golongan yang suka merendah diri dan selalu takut pada-Mu.
Ya Tuhanku, Engkau Tuhan dan aku hamba-Mu. Engkau wujud dan aku tiada. Maha Suci Engkau, aku tidak pernah memiliki dan berkuasa terhadap diriku sendiri, walau sedikit pun.
Ya Tuhanku, kuserahkan diriku pada-Mu. Kuserahkan segala kelemahanku pada-Mu. Kuserahkan hidupku pada-Mu. Tiada yang lebih mampu dan kuat kecuali Engkau ya Tuhan.
Karena Engkau, aku hidup. Karena Engkau, aku mati. Karena Engkau, Kau bangkitkan aku kembali. Karena Engkau, kuterima pengampunan. Dan karena Engkau aku dapat memasuki jannah-Mu..."
Denyut nafas Syekh Mabruk satu persatu keluar, lalu terbang ke langit menyambut datangnya fajar dan adzan Subuh. hidupnya diserahkan kembali pada Tuhannya.
Dan berakhirlah kisah seorang manusia dari kumpulan terbuang yang banyak berbuat kejahatan, namun selalu mencoba mendekatkan dirinya kepada Tuhannya. Sudah tentu, ia akan lebih baik daripada mereka yang selalu merasa paling taat, tapi kelewat sombong dengan ketaatannya itu.
Seorang yang diampuni Tuhan, karena ia tahu menempatkan dirinya. Meskipun ia berasal dari kumpulan yang terdampar. Meski pun ia keluar dari pintu-pintu sempit, lorong-lorong menjepit....
*****
dari : Nuqthah Al-Ghalayaan (Titik jenuh liku-liku kehidupan) oleh: Dr.Mustafa Mahmud
Post a Comment